BAB
I
PENDAHULUAN
Oleh Jalaluddin
1.1.
Latar Belakang
Pendidikan mengambil peran penting
dalam mencerdaskan kehidupan berbangsa saat ini. Akan tetapi berbagai upaya
yang telah pemerintah lakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan belum
menunjukkan hasil yang memuaskaan. Dari Laporan UNDP menunjukkan angka Human
Development Indeks (HDI) masyarakat Indonesia yang menjadi salah satu indikator
mutu pendidikan di Indonesia jauh tertinggal dari negara-negara lain di Asia. Kondisi rendahnya mutu pendidikan
ini disebabkan oleh berbagai faktor.
Kurikulum adalah jantung dari
pendidikan. Keberhasilan pendidikan sedikit banyak terletak pada keberhasilan
kurikulum. Dalam hal ini kurikulum mulai dari perencanaan sampai pelaksanaan
dan penilaiannya, yang berperan dalam pengambilan keputusan mengenai kurikulum
itu sendiri. Untuk itu dalam rangka menjamin keberhasilan kurikulum diperlukan
pengelolaan yang tepat dan sistematis. Pengelolaan atau manajemen kurikulum
yang terkoordinasi dengan baik akan menunjang keberhasilan pencapaian tujuan
pendidikan.
1.2
Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam makalah ini
adalah:
1.
Apa yang dimaksud
dengan manajemen kurikulum?
2. Apa
saja prinsip-prinsip dan fungsi manajemen kurikulum?
3. Apa
saja ruang lingkup manajemen kurikulum?
4.
Bagaimana penjelasan
dari tiap-tiap komponen manajemen kurikulum?
1.3.
TujuanPenulisan
Tujuan disusunnya makalah ini
adalah:
1.
Mengetahui pengertian
dari manajemen kurikulum.
2. Mengetahui
prinsip-prinsip dan fungsi dari manajemen kurikulum.
3. Mengetahui
ruang lingkup manajemen kurikulum.
4.
Mengetahui bagaimana
mengelola kurikulum dari komponen-komponennya.
BAB
II
MANAJEMEN
KURIKULUM
2.1
Konsep Dasar Manajemen Kurikulum
2.1.1 Pengertian
Kurikulum adalah
seperangkat rencana dan pengaturan yang mencakup tujuan, isi dan bahan
pengajaran serta metoda yang digunakan sebagai bahan pengajaran yang akan
diselenggarakan dalam sebuah kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan
pendidikan tertentu.
Manajemen
kurikulum adalah sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum yang
kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik untuk mengacu ketercapaian
tujuan kurikulum yang sudah dirumuskan.
Proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya.
Proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya.
2.1.2
Prinsip dan Fungsi Manajemen Kurikulum
Prinsip yang
harus diperhatikan dalam melaksanakan manajemen kurikulum adalah sebagai
berikut:
1.
Produktivitas, hasil
yang akan diperoleh dalam pelaksanaan kurikulum harus sangat diperhatikan.
Output (peserta didik) harus menjadi pertimbangan agar sesuai dengan rumusan
tujuan manajemen kurikulum.
2. Demokratisasi,
proses manajemen kurikulum harus berdasarkan asas demokrasi yang menempatkan
pengelola, pelaksana dan subjek didik pada posisi yang seharusnya agar dapat
melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya dan penuh tanggung jawab.
3. Kooperatif,
agar tujuan dari pelaksanaan kurikulum dapat tercapai dengan maksimal, maka
perlu adanya kerjasama yang positif dari berbagai pihak yang terkait.
4. Efektivitas
dan efisiensi, rangkaian kegiatan kurikulum harus dapat mencapai tujuan dengan
pertimbangan efektif dan efisien, agar kegiatan manajemen kurikulum dapat
memberikan manfaat dengan meminimalkan sumber daya tenaga, biaya, dan waktu.
5.
Mengarahkan pada
pencapaian visi, misi, dan tujuan yang sudah ditetapkan.
Adapun
fungsi-fungsi dari manajemen kurikulum adalah sebagai berikut:
1.
Meningkatkan efisiensi
pemanfaatan sumberdaya kurikulum, karena pemberdayaan sumber dan komponen
kurikulum dapat dilakukan dengan pengelolaan yang terencana.
2. Meningkatkan
keadilan dan kesempatan bagi peserta didik untuk mencapai hasil yang maksimal
melalui rangkaian kegiatan pendidikan yang dikelola secara integritas dalam
mencapai tujuan.
3. Meningkatkan
motivasi pada kinerja guru dan aktifitas siswa karena adanya dukungan positif
yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum.
4. Meningkatkan
pastisipasi masyarakat untuk membantu pengembangan kurikulum, kurikulum yang
dikelola secara profesional akan melibatkan masyarakat dalam memberi masukan
supaya dalam sumber belajar disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
2.2
Ruang lingkup Manajemen Kurikulum
Manajemen
kurikulum adalah bagian dari studi kurikulum. Para ahli pendidikan pada umumnya
telah mengenal bahwa kurikulum adalah suatu cabang dari disiplin ilmu
pendidikan yang mempunyai ruang lingkup sangat luas. Studi ini tidak hanya
membahas tentang dasar-dasarnya, tetapi juga mempelajari kurikulum secara
keseluruhan yang dilaksanakan dalam pendidikan.
Ruang lingkup manajemen kurikulum adalah sebagai berikut:
Ruang lingkup manajemen kurikulum adalah sebagai berikut:
(1) manajemen perencanaan,
(2) manajemen pelaksanaan
kurikulum,
(3) supervisi pelaksanaan
kurikulum,
(4) pemantauan dan penilaian
kurikulum,
(5) perbaikan kurikulum,
(6) desentralisasi dan sentralisasi
pengembangan kurikulum.
Sebuah kurikulum
terdiri dari beberapa unsur komponen yang terangkai pada suatu sistem. Sistem
kurikulum bergerak dalam siklus yang secara bertahap, bergilir, dan
berkesinambungan. Oleh sebab itu, manajemen kurikulum juga harus memakai
pendekatan sistem. Sistem kurikulum adalah suatu kesatuan yang di
dalamnya memuat beberapa unsur yang saling berhubungan dan bergantung dalam
mengemban tugas untuk mencapai suatu tujuan.
2.2.1 Manajemen
Perencanaan Kurikulum
Perencanaan
kurikulum adalah perencanaan kesempatan-kesempatan belajar yang dimaksudkan
untuk membina siswa ke arah perubahan tingkah laku yang diinginkan dan menilai
sampai mana perubahan-perubahan yang telah terjadi pada siswa.
5 hal yangmempengaruhi perencanaan dan pembuat keputusan :
5 hal yangmempengaruhi perencanaan dan pembuat keputusan :
·
Filosofis
·
Konten/materi
·
Manajemenpembelajaran
·
Pelatihan guru
·
Sistem pembelajaran.
Perencanaan
adalah suatu proses sosial yang kompleks dan menuntut berbagai jenis tingkat
pembuatan keputusan. Sebagaimana pada umumnya rumusan model perencanaan harus
berdasarkan asumsi-asumsi rasionalitas dengan pemrosesan secara cermat. Proses
ini dilaksanakan dengan pertimbangan sistematik tentang relevansi pengetahuan
filosofis (isu-isu pengetahuan yang bermakna), sosiologis (argumen-argumen
kecenderungan sosial), dan psikologi (dalam menentukan urutan materi
pelajaran).
Perencanaan
kurikulum dijadikan sebagai pedoman yang berisi petunjuk tentang jenis dan
sumber peserta yang diperlukan, media penyampaian, tindakan yang perlu
dilakukan, sumber biaya, tenaga, sarana yang diperlukan, sistem kontrol, dan
evaluasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dengan perencanaan akan memberikan
motivasi pada pelaksanaan sistem pendidikan sehingga dapat mencapai hasil yang
optimal.
Kegiatan inti
pada perencanaan adalah merumuskan isi kurikulum yang memuat seluruh materi dan
kegiatan yang dalam bidang pengajaran, mata pelajaran, masalah-masalah,
proyek-proyek yang perlu dikerjakan.
2.2.2
Manajemen Pengorganisasian dan Pelaksanaan Kurikulum
Manajemen
pengorganisasian dan pelaksanaan kurikulum berkenaan dengan semua tindakan yang
berhubungan dengan perincian dan pembagian semua tugas yang memungkinkan
terlaksana. Manajemen pelaksanaan kurikulum bertujuan supaya kurikulum dapat
terlaksana dengan baik. Dalam hal ini manajemen bertugas menyediakan fasilitas
material, personal dan kondisi-kondisi supaya kurikulum dapat terlaksana.
Pelaksanaan
kurikulum dibagi menjadi dua:
1.
Pelaksanaan kurikulum
tingkat sekolah, yang dalam hal ini langsung ditangani oleh kepala sekolah.
Selain bertanggung jawab supaya kurikulum dapat terlaksana di sekolah, dia juga
berkewajiban melakukan kegiatan-kegiatan yakni menyusun kalender akademik yang
akan berlangsung disekolah dalam satu tahun, menyusun jadwal pelajaran dalam
satu minggu, pengaturan tugas dan kewajiban guru, dan lain-lain yang berkaitan
tentang usaha untuk pencapaian tujuan kurikulum.
2.
Pelaksanaan kurikulum
tingkat kelas, yang dalam hal ini dibagi dan ditugaskan langsung kepada para
guru. Pembagian tugas ini meliputi; (1) kegiatan dalam bidang proses belajar
mengajar, (2) pembinaan kegiatan ekstrakurikuler yang berada diluar ketentuan
kurikulum sebagai penunjang tujuan sekolah, (3) kegiatan bimbingan belajar yang
bertujuan untuk mengembangkan potensi yang berada dalam diri siswa dan membantu
siswa dalam memecahkan masalah.
Peran-peran penting pada manajemen
pelaksanaan kurikulum adalah:
(1) Kepala Sekolah Sebagai Pemimpin
Pembelajaran
Kepala sekolah
menempati posisi terdepan dalam mendesain kurikulum. Kepala sekolah didorong
untuk mencari cara agar mengembangkan apa yang sudah dilakukan guru di kelas
dengan ide dari pengembang kurikulum pusat. Kepala sekolah membentuk gambaran
mental apa yang harus dicapai siswa dan bagaimana pencapaiannya pada disiplin
yang berbeda, termasuk bagaimana cara menilai penampilan siswa. Pejabat daerah
meninjau ulang ekspektasi kinerja dan memberi saran untuk modifikasi sampai
mereka puas bahwa kepala sekolah sudah jelas dalam memahami operasional tujuan
pendidikan nasional.
Selanjutnya
dalam pelatihan di tingkat yang lebih tinggi para guru dan karyawan dilatih
berdasarkan jenjangnya, dan mereka mengembangkan rencana sepanjang tahun pada
mata pelajaran yang berbeda-beda. Rencana-rencana tersebut dikritisi dan tiap
guru mebuat rencana kelasnya masing-masing. Kepala sekolah dan guru memutuskan
langkah-langkah yang akan diambil dalam menerjemahkan kurikulum pada tataran
praktis. Setelah rencana diterapkan, kepala sekolah mendukung guru dalam
melakukan eksperimen untuk menemukan cara baru dalam modifikasi kelas dan
mengelompokkan guru agar bertemu secara teratur untuk membahas dan berbagi
tentang strategi pembelajaran baru.
Kepemimpinan
yang fokus adalah ketika kepala-kepala sekolah bersama guru menganalisa
kemajuan siswa berdasarkan tes dan patokan dan kemudian menentukan implikasi
untuk pembelajaran.
(2) Kepala Sekolah dalam
Kepemimpinan Bersama
Kepala sekolah
dan guru memiliki kebebasan untuk menyusun visi kurikulum mereka sendiri
daripada hanya mencari cara mencapai tujuan yang disusun pihak lain. Para
karyawan berfokus pada masalah di sekolah mereka. Salah satu pendekatannya
adalah dengan berfokus pada budaya sekolah, termasuk keyakinan, nilai-nilai,
tradisi, praktek, harapan, dan asumsi-asumsi. Cara yang baik untuk memulai
mengembangkan visi kurikulum adalah dengan menetapkan pernyataan misi dan
analisis kritis pada kurikulum yang sedang berjalan. Sangat baik untuk merumuskan
etos dari sekolah, ciri khas, dan aspek-aspek unggulan dari sekolah.
Guru dan kepala
sekolah mengeksplor peraturan sekolah (kebijakan penilaian, penjadwalan, buku
teks, pembelajaran keluar, dan yang lainnya). Biasanya tim ini yang menentukan
kebijakan, menginterpretasikannya, dan menentukan konsekuensinya. Di bawah
kepemimpinan bersama, peran kepala sekolah adalah untuk melepaskan kapasitas
kreativitas dari tim tadi, bukan mengontrolnya. Salah satu tujuan dalam sesi
perencanaan adalah semua harus berbagi pengetahuan, pengamatan, interpretasi,
dan harus ada bukti dan kesepakatan tentang validitas dari pandangan yang
bertentangan. Keputusan didasarkan pada konsensus rasional, bukan dari kepala
sekolah atau guru-guru yang populer. Selama berdiskusi peserta tetap menjaga
norma dan nilai dari sekolah.
Peran guru dalam
pengambilan keputusan kurikulum bukan hal yang baru. Gary Peltier menulis
tentang program penyusunan kurikulum tahun 1922 menggunakan partisipasi guru.
Hasilnya, para guru menjadi lebih tahu tentang tujuan pendidikan, lebih dapat
menginterpretasikan program, dan lebih menerima metode-metode baru. Guru
menjadi lebih menerima pandangan baru tentang mata pelajaran, dan lebih respon
terhadap kebutuhan sosial dan siswa.
(3) Kepala Departemen atau Wakil
Kepala Sekolah dalam Manajemen Kurikulum
Pada beberapa
sekolah, kepala sekolah menetapkan kepala departemen atau wakil kepala sekolah untuk
kepemimpinan kurikulum. Kepala
departemen menyediakan struktur kurikulum, diskusi, dan pengambilan keputusan.
Departemen kurikulum menangani isu-isu tentang hasil yang diharapkan, isi
materi dan sekuensnya, kriteria untuk materi dan aktivitas baru, pendekatan
pengajaran, pengawasan dalam implementasi, dan evaluasi.
2.2.3 Supervisi
Pelaksanaan Kurikulum
Supervisi atau
pemantauan kurikulum adalah pengumpulan informasi berdasarkan data yang tepat,
akurat, dan lengkap tentang pelaksanaan kurikulum dalam jangka waktu tertentu
oleh pemantau ahli untuk mengatasi permasalahan dalam kurikulum. Pelaksanaan
kurikulum di dalam pendidikan harus dipantau untuk meningkatkan efektifitasnya.
Pemantauan ini dilakukan supaya kurikulum tidak keluar dari jalur. Oleh sebab
itu seorang yang ahli menyusun kurikulum harus memantau pelaksanaan kurikulum
mulai dari perencanaan sampai mengevaluasinya.
Secara garis
besar pemantauan kurikulum bertujuan untuk mengumpulkan seluruh informasi yang
diperlukan untuk pengambilan keputusan dalam memecahkan masalah. Dalam tataran
praktis, pemantauan kurikulum memuat beberapa aspek, yaitu sebagai berikut:
1.
Peserta didik, dengan
mengidentifikasi pada cara belajar, prestasi belajar, motivasi belajar,
keaktifan, kreativitas, hambatan dan kesulitan yang diahadapi.
2. Tenaga
pengajar, dengan memantau pada pelaksanaan tanggung jawab, kemampuan
kepribadian, kemampuan kemasyarakatan, kemampuan profesional, dan loyalitas
terhadap atasan.
3. Media
pengajaran, dengan melihat pada jenis media yang digunakan, cara penggunaan
media, pengadaan media, pemeliharaan dan perawatan media.
4. Prosedur
penilaian: instrument yang dihadapi siswa, pelaksanaan penilaian, pelaporan
hasil penilaian.
5.
Jumlah lulusan:
kategori, jenjang, jenis kelamin, kelompok usia, dan kualitas kemampuan
lulusan.
2.2.4 Penilaian
Kurikulum
Penilaian
kurikulum atau evaluasi kurikulum merupakan bagian dari sistem manajemen.
Evaluasi bertujuan untuk mengumpulkan, menganalisis dan menyajikan data untuk
penentuan keputusan mengenai kurikulum apakah akan direvisi atau diganti.
Menurut R.
Ibrahim (2004) model evaluasi kurikulum secara garis besar digolongkan ke dalam
empat rumpun model, yaitu :
·
Measurement, evaluasi
pada dasarnya adalah pengukur siswa untuk mengungkapkan perbedaan individual
maupun kelompok.
·
Congruence, evaluasi
pada dasarnya merupakan pemeriksaan kesesuaian atau congruence antara tujuan
pendidikan dan hasil belajar yang dicapai, untuk melihat sejauh mana perubahan
hasil pendidikan telah terjadi.
·
Illumination, evaluasi
pada dasarnya merupakan studi mengenai pelaksanaan program karena pengaruh
faktor lingkungan , kebaikan-kebaikan dan kelemahan program, serta
pengaruh program terhadap terhadap perkembangan hasil belajar.
·
Educational System
Evaluation, evaluasi pada dasarnya adalah perbandingan antara performance
setiap dimensi program dan kriteria, yang akan berakhir dengan suatu deskripsi
dan judgement.
Sedangkan model-model evaluasi
menurut McNeil (2006) adalah:
Model-model Konsensus (Tradisional
dan Evaluasi Secara Teknis)
David Nevo merangkum dalam
pertanyaan dan jawaban tentang evaluasi dengan pendekatan model konsensus:
1.
Apakah pengertian dari
evaluasi? Evaluasi pendidikan adalah penjelasan sistematis dari obyek-obyek
pendidikan (proyek, program, materi, kurikulum, dan lembaga) dan penilaian dari
kebermanfaatannya.
2. Apa
fungsi dari evaluasi? Ada 4 fungsi evaluasi yaitu: formatif (untuk perbaikan),
sumatif (untuk pemilihan dan akuntabilitas), sosial politik (untuk memotivasi
dan mendapatkan dukungan masyarakat), dan administratif (untuk menjalankan
wewenang).
3. Informasi
apa saja yang harus didapatkan? Penilai harus mendapatkan informasi tentang
tujuan dari obyek, strategi dan perencanaannya, proses penerapannya, hasil dan
dampaknya.
4. Kriteria
apa yang digunakan untuk menilai manfaat dari obyek yang dinilai? Dalam menilai
sebuah obyek pendidikan, yang harus dipertimbangkan adalah apakah obyek
tersebut: menanggapi kebutuhan dari klien; mencapai tujuan nasional, cita-cita,
dan nilai-nilai sosial; memenuhi standar yang berlaku; berjalan baik
dibandingkan obyek alternatif yang lain; dan mencapai tujuan penting.
5. Bagaimana
melakukan proses evaluasinya? Prosesnya harus mencakup 3 aktivitas: berfokus
pada masalah; mengumpulkan dan menganalisis data empiris; dan mengkomunikasikan
penemuan pada klien.
6. Siapa
yang seharusnya melakukan evaluasi? Perorangan atau tim yang mempunyai:
kompetensi dalam metode penelitian dan teknik menganalisis data; pemahaman
terhadap konteks sosial dan substansi khas dari obyek yang dinilai; kemampuan
untuk membina hubungan baik dengan semua yang terlibat; dan mengintegrasikan
seluruh kemampuan yang disebutkan diatas dalam bekerja.
7.
Dengan standar apa
seharusnya evaluasi dinilai? Evaluasi harus memenuhi standar keseimbangan
dalam: kegunaan (bermanfaat dan praktis); ketepatan (teknis yang memadai);
kemungkinan (realistis dan bijaksana); dan kewajaran (dilakukan dengan legal
dan etis).
Model Pluralistik (Humanistik dan
Evaluasi Rekonstruksi Sosial)
Model evaluasi
pluralistik cenderung digunakan hanya ketika penelitian kurang menarik untuk
alasan politis, biaya, dan kepraktisan. Model yang lebih baru ini terutama
digunakan untuk kurikulum yang di luar kebiasaan, dan yang berhubungan dengan
pendidikan estetis, proyek multikultural, dan sekolah alternatif.
A. Model Stake
Menurut Robert
E. Stake, harus ada evaluasi awal untuk menentukan apa yang sebenarnya
diinginkan oleh klien dan partisipan dari evaluasi program tersebut. Hal ini perlu diketahui untuk mendesain
projek evaluasi. Penekanan utama dalam model Stake adalah deskripsi dan
penilaian. Baginya, penilai harus melaporkan perbedaan orang melihat kurikulum.
Karena itu, aktivitas prinsip dari penilai antara lain, mencari apa yang ingin
diketahui orang, melakukan pengamatan, dan mengumpulkan penilaian beragam.
Orang-orang yang bervariasi, mulai dari para ahli, jurnalis, psikologis,
demikian juga guru dan murid diharapkan berpartisipasi dalam penilaian ini.
B. Model Connoisseurship
Elliot W. Eisner
mengembangkan sebuah proses evaluasi yang dapat menangkap lebih dari yang
didapat dari tes. Salah satu prosedurnya adalah mengkritisi pendidikan, dimana
penilai mengajukan beberapa pertanyaan seperti: Apa yang sudah terjadi selama
tahun ajaran di sekolah tersebut? Apa saja kegiatan-kegiatan kuncinya?
Bagaimana kegiatan-kegiatan itu dilaksanakan? Bagaimana siswa dan guru
berpartisipasi? Apa saja konsekuensinya? Bagaimana kegiatan itu dapat
dikuatkan? Bagaimana kegiatan tersebut dapat membuat siswa belajar?
Alat lain untuk
menunjang program adalah film, rekaman video, foto, dan rekaman suara wawancara
siswa dan guru. Connoisseurship berhubungan dengan: mencatat apa yang dikatakan
dan yang tidak dikatakan, bagaimana hal tersebut dikatakan, nadanya, dan faktor
lain yang mengindikasikan arti. Prosedur
lain dari Eisner adalah menganalisis hasil produk siswa, termasuk mengkritisi
untuk membantu penilai memahami apa yang sudah dicapai dan untuk mengungkapkan realitas
dari kelas. Hal ini juga dikenal dengan penilaian autentik.
Pendekatan ini,
meskipun informatif dan mudah diadaptasi pada kondisi lokal yang unik, namun
bersifat subyektif dan berpotensi kontroversial. Bagaimanapun interaksi
sosialdi antara pesertadalam menciptakanmaknadariapa yang dikumpulkanberkontribusi
terhadapvaliditaspenafsiran.
2.2.5 Perbaikan Kurikulum
Kurikulum tidak
bisa bersifat selalu statis, akan tetapi akan senantiasa berubah dan bersifat
dinamis. Hal ini dikarenakan kurikulum itu sangat dipengaruhi oleh perubahan lingkungan
yang menuntutnya untuk melakukan penyesuaian supaya dapat memenuhi permintaan.
Permintaan itu baik dikarenakan adanya kebutuhan dari siswa dan kebutuhan
masyarakat yang selalu mengalami perkembangan dan pertumbuhan terus menerus.
Perbaikan kurikulum
intinya adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang dapat disoroti dari
dua aspek, proses, dan produk. Kriteria proses menitikberatkan pada efisiensi
pelaksanaan kurikulum dan sistem intruksional, sedangkan kualitas produk
melihat pada tujuan pendidikan yang hendak dicapai dan output (kelulusan
siswa).
Berkaitan dengan
prosedur perbaikan, seluruh komponen sumber daya manusiawi, seperti:
administrator, pemilik sekolah, kepala sekolah, guru-guru, siswa, serta
masyarakat sangat berperan besar. Tanggung jawab masing-masing harus dirumuskan
secara jelas. Selain itu aspek evaluasi juga harus dikaji sejak awal
perencanaan program perbaikan kurikulum. Dengan evaluasi yang tepat dan data
informasi yang akurat akan sangat diperlukan dalam membuat keputusan kurikulum
dan intruksional.
Chamberlain
telah merumuskan tindakan-tindakan yang dilakukan dalam perbaikan, yaitu:
(1) mengidentifikasi masalah
sebenarnya sebagai tuntutan untuk mengetahui tujuan,
(2) mengumpulkan fakta atau
informasi tambahan,
(3) mengajukan kemungkinan
pemecahan dengan keputusan yang optimal dan diharapkan,
(4) memilih pemecahan sebagai
percobaan,
(5) merencanakan tindakan yang
dikehendaki untuk melaksanakan penyelesaian,
(6) melakukan solusi percobaan,
(7) evaluasi.
2.2.6 Sentralisasi dan Desentralisasi Kurikulum
Menurut ekonomi
manajemen sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil
manager atau yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi.
Sentralisasi banyak digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. Kelemahan
sistem sentralisasi adalah dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah
daerah dihasilkan oleh orang-orang yang berada di pemerintah pusat sehingga
waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi lebih lama.
Dalam era
reformasi dewasa ini, diberlakukan kebijakan otonomi yang seluas-luasnya dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Otonomi daerah merupakan
distribusi kekuasaan secara vertikal. Distribusi kekuasan itu dari pemerintah
pusat ke daerah, termasuk kekuasaan dalam bidang pendidikan. Dalam pelaksanaan
otonomi daerah di bidang pendidikan tampak masih menghadapi berbagai masalah.
Masalah itu diantaranya tampak pada kebijakan pendidikan yang tidak sejalan
dengan prinsip otonomi daerah dan masalah kurang adanya koordinasi dan sinkronisasi.
(1) Kekuatan dan Kelemahan Sentralisasi
Pendidikan
Indonesia sebagai negara berkembang
dengan berbagai kesamaan ciri sosial budayanya, juga mengikuti sistem
sentralistik yang telah lama dikembangkan pada negara berkembang.
Konsekuensinya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia serba seragam, serba keputusan dari atas, seperti kurikulum yang seragam tanpa melihat
tingkat relevansinya baik kehidupan anak dan lingkungannya.
Dengan adanya sentralisasi
pendidikan telah melahirkan berbagai fenomena yang memprihatinkan seperti :
1. Totaliterisme
penyelenggaraan pendidikan
2.
Keseragaman manajemen, sejak dalam aspek
perencanaan, pengelolaan,evaluasi, hingga model pengembangan sekolah dan
pembelajaran.
3.
Keseragaman pola pembudayaan
masyarakat
4.
Melemahnya kebudayaan daerah
5. Kualitas
manusia yang robotic, tanpa inisiatif dan kreatifitas.
Dengan demikian, sebagai dampak
sistem pendidikan sentralistik, makaupaya mewujudkan pendidikan yang dapat
melahirkan sosok manusia yang memiliki kebebasan berpikir, mampu memecahkan
masalah secara mandiri, bekerja dan hidup dalam kelompok kreatif penuh
inisiatif dan impati, memiliki keterampilan interpersonal yang memadai sebagai
bekal masyarakat, menjadi sangat sulit untuk di wujudkan.
Beberapa
alasan yang mendasari perlunya desentralisasi :
1. Mendorong terjadinya partisipasi dari bawah secara
lebih luas.
2. Mengakomodasi terwujudnya prinsip demokrasi.
3. Mengurangi biaya akibat alur birokrasi yang panjang
sehingga dapat meningkatkan efisiensi.
4. Memberi peluang untuk memanfaatkan potensi daerah
secara optimal.
5. Mengakomodasi kepentingan poloitik.
6. Mendorong peningkatan kualitas produk yang lebih
kompetitif.
(2) Kekuatan dan Kelemahan Desentralisasi
Pendidikan
Desentralisasi adalah pendelegasian
wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada orang-orang pada level
bawah (daerah). Kelebihan sistem ini adalah sebagian keputusan dan kebijakan
yang ada di daerah dapat diputuskan di daerah tanpa campur tangan pemerintah
pusat. Namun kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang
berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan
serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi.
Sistem
pendidikan yang sentralistik yang mematikan kemampuan berinovasi tentunya tidak
sesuai dengan pengembangan suatu masyarakat demokrasi terbuka. Oleh sebab itu,
desntralisasi pendidikan berarti lebih mendekatkan proses pendidikan kepada
rakyat sebagai pemilik pendidikan itu sendiri. Rakyat harus berpartisipasi di
dalam pembentukan social capital tersebut. Ikut sertanya rakyat di dalam
penyelenggaraan pendidikan dalam suatu masyarakat demokrasi berarti pula rakyat
ikut membina lahirnya social capital dari suatu bangsa.
Dari beberapapengalaman di negara lain,kegagalan
disentralisasi di akibatkan oleh beberapa hal :
1. Masa transisi dari sistem sentralisasi ke
desintralisasi ke memungkinkan terjadinya perubahan secara gradual dan tidak
memadai serta jadwal pelaksanaan yang tergesa-gesa.
2. Kurang jelasnya pembatasan rinci kewenangan antara
pemerintah pusat, propinsi dan daerah.
3. Kemampuan keuangan daerah yang terbatas.
4. Sumber daya manusia yang belum memadai.
5. Kapasitas manajemen daerah yang belum memadai.
6. Restrukturisasi kelembagaan daerah yang belum
matang.
7. Pemerintah pusat secara psikologis kurang siap
untuk kehiulangan otoritasnya.
Berdasarkan pengalaman, pelaksanaan disentralisasi
yang tidak matang juga melahirkan berbagai persoalan baru, diantaranya :
1. Meningkatnya kesenjangan anggaran pendidikan antara
daerah,antar sekolah antar individu warga masyarakat.
2. Keterbatasan kemampuan keuangan daerah dan
masyarakat (orang tua) menjadikan jumlah anggaran belanja sekolah akan
menurundari waktu sebelumnya,sehingga akan menurunkan motivasi dan kreatifitas
tenaga kependidikan di sekolahuntuk melakukan pembaruan.
3. Biaya administrasi di sekolah meningkat karena
prioritas anggarandi alokasikan untuk menutup biaya administrasi, dan sisanya
baru didistribusikan ke sekolah.
4. Kebijakan pemerintah daerah yang tidak memperioritaskan
pendidikan, secara kumulatif berpotensi akan menurunkan pendidikan.
5. Penggunaan otoritas masyarakat yang belum tentu
memahamisepenuhnya permasalahandan pengelolaan pendidikan yang pada akhirnya
akan menurunkan mutu pendidikan.
6. Kesenjangan sumber daya pendidikan yang tajam di
karenakan perbedaan potensi daerah yang berbeda-beda. Mengakibatkan kesenjangan
mutu pendidikan serta melahirkan kecemburuan sosial.
7. Terjadinya pemindahan borok-borok pengelolaan
pendidikan dari pusat ke daerah.
Selain dampak negatif tentu saja desentralisasi
pendidikan juga telah membuktikan keberhasilan antara lain :
1. Mampu memenuhi tujuan politis, yaitu melaksanakan
demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan.
2. Mampu membangun partisifasi masyarakat sehingga
melahirkan pendidikan yang relevan, karena pendidikan benar0benar dari oleh dan
untuk masyarakat.
3. Mampu menyelenggarakan pendidikan secara
menfasilitasi proses belajar mengajar yang kondusif, yang pada gilirannya akan
meningkatkan kualitas belajar siswa.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Manajemen
kurikulum adalah sebuah proses atau sistem pengelolaan kurikulum yang
kooperatif, komprehensif, sistemik, dan sistematik untuk mengacu ketercapaian
tujuan kurikulum yang sudah dirumuskan.
Proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya.
Proses manajemen kurikulum tidak lepas dari kerjasama sosial antara dua orang atau lebih secara formal dengan bantuan sumber daya yang mendukungnya. Pelaksanaanya dilakukan dengan metode kerja tertentu yang efektif dan efisien dari segi tenaga dan biaya, serta mengacu pada tujuan kurikulum yang sudah ditentukan sebelumnya.
Adapunfungsi
dari manajemen kurikulum adalah untuk
meningkatkan efisiensi pemanfaatan sumber daya
kurikulum, meningkatkan
keadilan dan kesempatan bagi peserta didik untuk mencapai hasil yang maksimal
melalui rangkaian kegiatan pendidikan yang dikelola secara integritas dalam
mencapai tujuan, meningkatkan
motivasi pada kinerja guru dan aktifitas siswa karena adanya dukungan positif
yang diciptakan dalam kegiatan pengelolaan kurikulum, serta meningkatkan pastisipasi
masyarakat untuk membantu pengembangan kurikulum, kurikulum yang dikelola
secara profesional akan melibatkan masyarakat dalam memberi masukan supaya
dalam sumber belajar disesuaikan dengan kebutuhan setempat.
Ruang lingkup
manajemen kurikulum adalah sebagai berikut:
(1) manajemen perencanaan,
(2) manajemen pelaksanaan
kurikulum,
(3) supervisi pelaksanaan
kurikulum,
(4) pemantauan dan penilaian
kurikulum,
(5) perbaikan kurikulum,
(6) desentralisasi dan sentralisasi
pengembangan kurikulum.
3.2 Saran
Manajemenkurikulummerupakansuatupengeloloaandariberhasilnyasuatupendidikan.Kurikulummerupakanjantungdaripendidikan,
danmelaluimanajemenkurikulumniscayapendidikantersebutdapatterwujudtujuannya.Untukitu,
parapengembangkurikulumdalammemutuskan, merancang, melaksanakan,
sertamengevaluasisuatukurikulumdiperlukanmanajemen yang
tepatdariberbagailini/sektor.Keilmuanmanajemensudahsepatutnyadimilikiolehsetiappengembangkurikulumuntukmeminimalisirkegagalandarikurikulumtersebut.
McNeil,
John D., 2006. Contemporary Curriculum In Thought and Action. Hoboken: John
Wiley & Sons, Inc.
Rusman,
..... . Manajemen Kurikulum.....
http://antonilamini.wordpress.com/2008/05/18/sentralisasi-dan-desentralisasi-pendidikan/
0 komentar:
Posting Komentar